Dear Mantan Istri

Dear Mantan Istri Part 10 - 12 END     Edit

Photo
Dear Mantan Istri Part 10 - 12

Detail
Status
on

Price ( Rp. )
11000

Discount ( % )
5


Ukuran
  • SMALL:100000
  • MEDIUM:200000
  • LARGE:300000
  • X LARGE:500000


Description
Detail Produk

Ini adalah part akhir…

Dewi yang sedang memegang gagang sapu mengangkat wajah. Ia tersenyum kecut.

"Untuk apa, Mas?"

"Untuk semua kesalahanku. Juga atas apa yang kamu alami ini," ucapku lagi dengan suara bergetar. Sungguh, aku adalah manusia paling bodoh yang tak berpikir ulang tentang arti pernikahan.

"Kenapa baru sekarang minta maaf? Kenapa baru sekarang kamu angkat suara?"

"Karena aku baru tahu, Wi. Aku baru tahu bahwa Pak Bayu ...."

"Apa? Bukannya kamu sudah bahagia harusnya? Berapa banyak uang yang kamu dapat dari hasil menjualku pada bosmu itu, Mas?!"

Degg..!

kira-kira gimana ya endingnya.. sedih apa bahagia?. Dukung untuk eps terakhirnya…


Disclaimer: Cerita ini mengandung unsur kesedihan, Mohon sediakan tisyu..

Dear Mantan Istri Part 7 -10     Edit

Photo
Dear Mantan Istri Part 8 -10

Detail
Status
on

Price ( Rp. )
11000

Discount ( % )
10


Description
Sinopsis

Aku memang miskin. Aku memang tak bersekolah tinggi. Tapi, aku masih punya hati untuk tak mengusik kehidupan orang lain.

"Kalau begitu, saya tanya sama Bapak. Berapa lama Bapak kenal dengan Pak Bayu?"

"Saya lupa, Pak."

"Sekali lagi, saya tanya, berapa lama Bapak kenal sama Pak Bayu? Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? Berapa?" Pak Ashka menatapku serius. Kedua alisnya bertaut. Sedangkan aku, masih berpikir. Karena seingatku, aku mengenal Pak Bayu tak lebih dari dua tahun.

"Pak?" pertanyaan Pak Ashka membuyarkan lamunanku.

"Sekitar dua tahunan, Pak," jawabku yakin.

"Bagaimana dengan Pak Bandi? Berapa lama Bapak kenal dengan Pak Bandi?"

Degh!


Disclaimer: Cerita ini mengandung unsur kesedihan, Mohon sediakan tisyu..

Dear Mantan Istri Part 4 - 6     Edit

Photo
Dear Mantan Istri Part 4 - 6

Detail
Status
on

Price ( Rp. )
11000

Discount ( % )
10

Description
Sinopsis

Kenapa hatiku sakit meski hanya mendengarnya? Dewiku, ia pasti sangat terluka. Kuhentikan aktifitas makanku. Tak selera. Sampai kerudung panjang Dewi menghilang di balik pintu rumah makan.

"Ayo dimakan, Pak. Kenapa ngeliatin suami isteri itu? Bapak kenal?" tanya Pak Ashka tiba-tiba.

"Saya kenal mereka, Pak," jawabku.

"Oh, ya? Kebetulan sekali."

Pak Ashka mengangguk sambil menatapku lagi.

"Nanti kita banyak urusan bersama mereka."

Degh!

Urusan?


Disclaimer: Cerita ini mengandung unsur kesedihan, Mohon sediakan tisyu..

Dear Mantan Istri Part 1 - 3     Edit

Photo
Dear Mantan Istri Part 1 - 3

Detail
Status
on

Price ( Rp. )
11000

Discount ( % )
10


Description
Sinopsi

Kulihat Dewi, mantan istriku. Ia tampak cantik dan terawat, tak seperti dulu saat bersamaku. Kuperhatikan dengan teliti, kerudung lebar yang ia kenakan, rupanya tak mampu menutupi perutnya yang membuncit. Badannya pun kini berisi. Mungkinkah ia tengah mengandung? Ah, entahlah. Sepuluh tahun berpisah denganku bukanlah waktu yang sebentar. Aku yakin ia telah menikah dan hidup berbahagia. Syukurlah, aku turut senang melihatnya.

"Aku pulangkan kamu ke rumah orang tuamu. Tak sanggup lama-lama hidup berdua denganmu. Di luar sana, masih banyak perempuan yang cantik dan menggoda. Juga lebih sedap dipandang mata dari pada kamu. Oh, ya. Satu hal lagi. Jangan pernah mencariku. Kita resmi berpisah mulai hari ini juga."

Aku menelan ludah, pahit. Masih teringat dalam benak. Kalimat itu kuucapkan padanya. Ya, sepuluh tahun yang lalu. Meski sejujurnya, semua itu adalah dusta. Semua kulakukan dengan terpaksa. Menyakiti hatinya agar ia mau membenciku. Lelaki yang sama sekali tak pantas untuknya. Yang hanya akan menyengsarakan hidupnya. Aku mandul. Vonis dokter berkata demikian. Biarkan saja ia salah paham. Asal ia bisa bahagia dengan kehidupan barunya. Dewi ... maaf. Rasa sayang yang teramat besar ini, ternyata mampu melukai diri. Semoga kamu selalu berbahagia. Meski bukan dengan diriku. 

Suatu hari kau akan mengerti kenapa aku berbuat sepertini.

***

Sungguh ... aku tak pernah menyesal telah menceraikan Dewi. Melihat betapa ia bahagia sekarang, itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Senyumnya.

Tawanya.

Binar matanya.

Meski ia melukis itu semua bukan untukku. Tak apa. Aku turut merasakan bahagianya.

Dulu, bertahun-tahun hidup bersamaku. Dengan keadaan ekonomi yang terjepit. Juga tekanan batin yang ia rasakan. Membuat wajah dan tubuhnya tak pernah terurus. Ia juga nyaris depresi. Bukan karena ulahku, namun tekanan sekitar tempat tinggal kami.

Dewi, gadis yang kunikahi karena kesederhanannya. Dengan mahar selembar uang seratus ribu rupiah dan juga cincin emas sebesar satu gram. Ia menerima pinanganku dengan lapang dada.

"Tak apa, Mas. Inshaa Allah Dewi ridho. Karena menikah adalah ibadah. Bukan ajang untuk mendapatkan materi berlimpah. Semoga pernikahan kita langgeng, ya. Sampai kakek nenek dan sampai nanti disatukan dalam surgaNya."

Wajah bersahaja dengan tatapan mata yang teduh milik Dewi menyemangati hariku. Sungguh, aku sangat bersyukur memilikinya.

Selama menikah. Tak sekalipun ia mengeluh atau menuntut. Sedikit banyak gaji yang kuberikan. Ia selalu mengucap syukur dan berterima kasih. Pekerjaanku hanyalah seorang kuli bangunan. Kadang juga mengojek demi menambal sulam kebutuhan. Maklum, aku hanyalah lulusan smp. Almarhum ibu dan bapak tak cukup uang untuk menyekolahkanku.

Aku dan Dewi tidak tinggal di rumah sendiri. Kami menumpang di belakang rumah kakak iparku. Tepatnya, rumah suami kakakku. Hanya sepetak. Berisi satu kamar, dapur, dan kamar mandi. Bukan tak ingin punya rumah sendiri. Jangankan untuk membeli rumah. Untuk sekadar menyewa saja aku tak mampu. Karena pendapatanku hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Miskin sekali.

Berangkat pagi dan pulang selalunya hampir malam adalah ikhtiar yang kumaksimalkan, tapi tetap saja pendapatanku tak cukup untuk sebagian disisihkan. Hingga suatu waktu, di saat kami sedang krisis keuangan. Dewi mengikhlaskan cincin pernikahannya untuk dijual.

"Pakai saja, Mas. Nggak papa. Adek ikhlas."

"Tapi, Dek ...."

"Sudahlah, Mas. Karena kebahagiaan tidak diukur dengan banyaknya materi. Asal kita bisa bersama-sama dan Mas selalu sayang sama Adek. Inshaa Allah Adek ikhlas."

Ah ... aku terharu sekali. Kulihat binar matanya yang indah berkaca-kaca. Rabbi, kenapa sedalam ini rasa cintanya padaku? Untuk memikirkan dirinya sendiri saja tidak. Ia teramat baik dan peduli.

Terkadang, kebaikan yang berlebih dari seseorang membuat hati jadi tak enak sendiri. Dewi adalah istri yang baik dan sangat pengertian.

Semakin ia berbuat baik padaku. Semakin besar pula rasa sayang ini padanya.

Di pernikahan yang menginjak usia satu tahun. Aku dan Dewi semakin menghangat saja. Namun, tidak dengan tahun-tahun setelahnya.

Kuperhatikan Dewi mulai berubah. Pernah beberapa kali kupergoki ia menangis. Membenamkan mukanya di bawah bantal. Tentu saat itu ia tak sadar aku tengah mengintipnya dibalik jendela kamar. Aneh, karena setiap kali bersamaku ia tak pernah seperti itu. Jangankan sembunyi di bawah bantal. Menunjukkan kesedihannya di hadapanku saja tidak.

Atau saat tanpa sengaja aku menemukan begitu banyak benda kecil dengan satu garis berwarna merah di bawah kolong ranjang. Ya, aku ingat itu. Saat pernikahan kami lebih dari dua tahun. Aku menemukan benda yang kini kuketahui bernama test pack itu di kamarku.

Satu kesimpulan kutarik. Selama ini, ia sengaja menyembunyikan kepedihannya seorang diri. Dewi yang malang.

Lalu, semakin hari istriku itu berubah jadi pendiam. Kalau kuajak bicara ia kadang tak nyambung. Meski begitu, senyum di bibirnya tak pernah sekalipun pudar. Oh, Dewi. Maafkan suamimu ini. Kini, aku telah menyesal menikahinya. Bukannya bahagia yang ia kecap dan rasa, tapi duka nestapa seolah tak pernah ada habisnya sejak kami menikah.

"Kamu itu jadi istri gimana, kok masih belum hamil juga."

"Jangan-jangan kamu mandul, Wi."

"Oh, kasihan sekali adikku. Menikahi perempuan berrahim kering. Menghangatkan rahimnya saja tak bisa!"

"Kamu itu di sini hanya numpang. Harusnya sadar diri dengan posisi. Bukannya diam dan tidur saja di rumah. Noh, bantuin Mbak lagi banyak kerjaan!"

Duh, perihnya. Fakta baru kudapat saat rajin mengintip istriku di dalam rumah. Bukan tanpa alasan. Karena saat itu aku sedang tak ada kerjaan. Ingin pulang, tapi kenyataan pahit menghampiri. Lagi-lagi aku menelan pahitnya fakta yang mungkin sudah lama terjadi. Selain tekanan, Dewi juga diperalat oleh kakakku sendiri.

Sekali lagi, maaf. Untuk perih yang tak kunjung usai ini.

"Mas, Adek kangen Ibu sama Bapak. Pingin pulang, seminggu aja, ya? Kebetulan ada acara nikahan sodara," ungkapnya suatu hari.

Jarak rumahku dan rumah orang tua Dewi terbilang cukup jauh. Ia berasal dari jawa tengah. Sedangkan aku berasal dari jawa timur. Jika dibilang jahat, biarkan saja. Namun, aku mendapat keuntungan dengan jarak rumah yang jauh.

Orang tuanya tak tahu keadaan rumah tangga kami seperti apa. Setiap kali videocall yang tentu saja pakai gawai kakakku. Dewi selalu menutupi semua kurangku.

"Gimana, Mas? Seminggu aja, kok."

Kupandangi kedua matanya dengan lama. Ada pengharapan besar di sana. Kuanggukan kepala meski berat hati. Karena selain tak ada ongkos untuk pulang. Guna membeli oleh-oleh pun tak ada. Apa jadinya jika ia kelak diperbincangkan?

Ah, aku tak tahan. Terlebih ia harus berangkat ke sana sendiri.

"Mas jangan khawatir. Adek punya ongkos untuk pulang pergi. Nggak banyak, hanya seratus ribu."

"Tapi, Dek. Apa nggak terlalu mepet uangnya? Mas pinjam ke Mbak Wina dulu, ya?" tawarku.

Dewi menggeleng. "Jangan, Mas. Hutang kita sudah banyak. Adek malu. Inshaa Allah cukup kok uang segini juga."

Dewi tersenyum tipis.

Melihat ia seperti itu, aku seperti tak punya pilihan lain. Dengan berat hati kuikhlaskan kepergiannya. Tak apa. Mungkin, di rumah orang tuanya ia bisa bahagia.

"Tapi, Mas. Sebelum pergi, Adek minta antar ke toko perhiasan dulu."

Sedikit terkejut saat ia berkata demikian. Apakah ia memegang uang lebih untuk membeli barang mahal itu? Mengingat, uang belanja yang kukasih saja pas-pasana. Jangankan untuk membeli perhiasan. Sekadar beli gamis murah atau daster saja, itu tak pernah.

Hampir lima tahun dan selembar pakaian pun tak pernah kubelikan. Rabbi ....

Dadaku sesak mengingat pengorbanan Dewi selama ini. Seringnya ia mendapat lungsuran dari Mbak Wina. Ya, kami memang semiskin itu.

Seperti permintaannya, kuantar dia ke toko perhiasan.

"Bukan yang itu, Mas," ujarnya saat aku hendak masuk ke dalam toko emas. Pakaian lusuh dengan sandal butut. Duh, enggak pantas rasanya.

"Lha, terus di mana, Dek?" tanyaku.

Dewi berjalan ke sebuah toko penjual aksesoris. Baru kusadari bahwa ia hendak membeli perhiasan imitasi. Untuk apa? Demi apa ia berbuat begitu? Apakah ia ingin pamer? Atau apa? Tapi, Dewi bukan perempuan seperti itu.

"Maafin, Adek, Mas. Jangan tersinggung, ya? Bukannya Dewi ingin pamer atau apa. Tapi, ini demi menjaga nama baik, Mas. Dewi nggak mau Mas dipandang sebelah mata oleh keluarga Dewi. Setidaknya, ada sebuah cincin yang melekat di jari manis ini. Dewi nggak akan ngomong ini emas asli atau palsu. Hanya akan memakainya demi menjaga nama Mas saja."

Rabbi ....

Jika saja ini di dalam rumah. Sudah barang tentu aku akan menangis sejadi-jadinya. Dia ... kenapa tulus sekali. Menutupi segala aib dan kurangku. Bahkan pada keluarganya sendiri.


Bagaimana kelanjutannya? silahkan bab selanjutnya ya...


Disclaimer: Cerita ini mengandung unsur kesedihan, Mohon siapkan tisyu ya..

Order mudah! via WhatsApp.

Instant Checkout dengan Contact Form WhatsApp.

Online 1x24 Jam!

Apapun pesananmu, CS (Customer Service) kami akan dengan senang hati untuk melayani.. :)

Kualitas Terbaik!

Kami memastikan, produk yang kami kirim sesuai dengan Ekspektasi pembeli.

Ikuti dan dukung kami! ×

1 Butuh bantuan?

×


close